Inflasi Global: Penyebab dan Dampak bagi Negara Berkembang
Innoventure.id – Analisis penyebab utama inflasi global pasca-pandemi, transmisi dampaknya, dan tantangan yang dihadapi negara berkembang, termasuk risiko beban utang.
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan lonjakan inflasi yang tidak terjadi dalam beberapa dekade. Fenomena ini, yang di kenal sebagai Inflasi Global, tidak hanya terbatas pada negara-negara maju. Tetapi juga menyebar dengan cepat dan memberikan tekanan yang sangat berat pada perekonomian negara berkembang (Emerging Markets).
Inflasi global adalah hasil dari konvergensi berbagai guncangan ekonomi pasca-pandemi, mulai dari gangguan produksi hingga lonjakan permintaan, yang berimplikasi kompleks dan berisiko tinggi terhadap stabilitas fiskal, nilai tukar, dan kesejahteraan sosial di negara berkembang.
BACA JUGA : Bank Dunia: Pengaruh Krusial terhadap Pembangunan Global
1. Tiga Penyebab Utama Inflasi Global
Laju inflasi yang tinggi di berbagai belahan dunia terutama di sebabkan oleh tiga faktor utama yang terjadi secara simultan:
A. Gangguan Rantai Pasok (Supply Chain Disruption)
Pandemi COVID-19 menyebabkan penguncian (lockdown) dan hambatan logistik yang parah. Penutupan pabrik, kekurangan tenaga kerja pelabuhan, dan kelangkaan kontainer secara drastis mengurangi pasokan barang, terutama chip semikonduktor dan bahan baku industri. Penurunan pasokan di tengah permintaan yang mulai pulih secara alami mendorong harga barang naik (Cost-Push Inflation).
B. Kebijakan Moneter Ekspansif Global
Selama pandemi, bank sentral di negara-negara maju (terutama Federal Reserve AS) menyuntikkan likuiditas besar-besaran dan menahan suku bunga sangat rendah untuk menopang ekonomi. Suntikan uang ini, di kombinasikan dengan stimulus fiskal pemerintah, menciptakan lonjakan permintaan yang kuat dan mendorong kenaikan harga secara global (Demand-Pull Inflation).
C. Guncangan Harga Komoditas Energi dan Pangan
Konflik geopolitik global seringkali memicu kenaikan harga komoditas utama, khususnya minyak bumi, gas, dan biji-bijian pangan. Negara berkembang, yang sebagian besar adalah net importer energi dan pangan, terpaksa membayar harga impor yang jauh lebih mahal, yang kemudian di teruskan ke konsumen domestik sebagai Inflasi Impor.
2. Dampak Negatif Inflasi Global pada Negara Berkembang
Transmisi inflasi global ke negara berkembang terjadi melalui jalur moneter dan fiskal, menciptakan tantangan yang unik dan seringkali lebih berat daripada yang di hadapi negara maju.
A. Beban Utang dan Pelemahan Mata Uang
Ketika inflasi di Amerika Serikat melonjak, Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya secara agresif. Kenaikan suku bunga AS ini memicu eksodus modal (capital outflow) dari negara berkembang, karena investor mencari imbal hasil yang lebih aman di pasar AS.
- Pelemahan Nilai Tukar: Penarikan modal menyebabkan mata uang negara berkembang terdepresiasi (melemah) terhadap Dolar AS.
- Beban Utang Meningkat: Pelemahan mata uang ini secara langsung meningkatkan biaya pembayaran utang luar negeri (yang umumnya dalam Dolar AS) bagi pemerintah dan korporasi domestik. Ini menciptakan risiko krisis utang.
B. Inflasi Impor dan Daya Beli Tergerus
Negara berkembang sangat bergantung pada impor bahan baku, energi, dan barang modal. Ketika harga komoditas global naik dan nilai tukar domestik melemah, biaya impor melambung tinggi. Kenaikan harga ini langsung menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan yang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan dasar (pangan dan energi).
C. Dilema Kebijakan Bank Sentral
Bank sentral di negara berkembang dihadapkan pada dilema:
- Menanggapi Inflasi: Bank sentral harus menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi dan menstabilkan nilai tukar. Namun, kenaikan suku bunga ini berisiko mencekik pertumbuhan ekonomi dan menghambat investasi domestik.
- Menjaga Pertumbuhan: Jika bank sentral tidak menaikkan suku bunga, mata uang akan terus melemah, memperburuk inflasi impor.
D. Pengurangan Ruang Fiskal
Banyak negara berkembang masih menggunakan subsidi untuk menahan harga energi dan pangan agar tidak memicu gejolak sosial. Namun, dengan harga komoditas global yang tinggi, biaya subsidi ini melonjak drastis, menguras APBN dan mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk mendanai sektor produktif seperti pendidikan dan infrastruktur.
3. Strategi Adaptasi Negara Berkembang
Untuk bertahan dari gelombang inflasi global, negara berkembang perlu menerapkan strategi yang terukur:
- Penargetan Subsidi: Mengalihkan subsidi harga yang tidak tepat sasaran menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang ditujukan hanya kepada kelompok miskin, mengurangi pemborosan fiskal.
- Diversifikasi Rantai Pasok: Mengurangi ketergantungan pada satu sumber impor bahan baku dan meningkatkan produksi domestik untuk menekan risiko guncangan pasokan.
- Pengelolaan Utang yang Hati-hati: Mendorong pembiayaan utang dalam mata uang domestik (Rupiah), sehingga mengurangi risiko kerentanan akibat fluktuasi Dolar AS.
Kesimpulan
Inflasi global adalah ujian berat bagi ketahanan ekonomi negara berkembang. Fenomena ini menunjukkan betapa eratnya keterkaitan ekonomi dunia, di mana kebijakan moneter di negara maju memiliki efek riak yang mendalam di pasar negara berkembang.
Meskipun tantangan utang dan inflasi impor sangat besar, negara-negara yang mampu mengelola fiskal secara bijaksana, menargetkan bantuan sosial secara efektif, dan mempertahankan kredibilitas kebijakan moneter akan lebih mampu menavigasi turbulensi global ini dan mencapai pertumbuhan yang inklusif.
